Ya Allah, aku ingin
punya nomer telepon yang bisa aku telpon setiap aku ingin cerita semua
kesedihanku. Tapi aku baca suratmu, laa tahzan innallaaha ma’ana.
Aku hambaMu, aku tau
bercerita tentang kesedihan kepada sesama makhlukMu memang tidak baik, dan
mereka juga tidak akan mampu mengerti kesedihanku sepenuhnya. Lalu aku hanya mampu menangis. Aku
tidak ceritakan kepada siapapun mengapa aku menangis pagi ini.
Setelah 4 rakaat duha,
aku baca surat-suratmu,dan aku rindu Engkau, aku mulai ingin menangis. Dan saat
aku sampai di ayat 79 surat Al Anbiya, tangisku tak bisa ku tahan, aku berhenti
sejenak, memejamkan mataku dan bernostalgia, mengingat semua canda tawa teman
teman disana, Ya Allah aku rindu membaca ayat itu bersama teman teman sepengajian
di masjid.
Dan mengapa banyak
dari temanku yang santai – santai saja menjalani hidup di kostan, aku tidak
bisa seperti mereka. Bukan aku takut, entah perasaan apa yang ada di hatiku
saat ini. Engkau maha mengetahui segala isi hati setiap makhlukMu.
Aku pun tidak mau
terus menerus menangis disini. Aku percaya Engkau tidak akan memberikan ujian
jika aku tidak bisa menikmatinya, tapi sampai saat ini aku masih belum bisa
melewatinya.
Ya Allah, aku
rinduuuuuuu. Terkadang tersirat dalam pikiranku, aku ingin pulang ke pelukanMu,
tapi aku sadar aku belum membahagiakan kedua orang tuaku.
Belum saatnya untukku
pulang, belum aku luruskan jalan hidupku, masih banyak level dalam hidup ini
yang belum kumainkan. Terpikir “kapan game over” atau “kapan goal”.
Aku merasa aku sangat
amat lemah. Ya. makhlukMu yang mana yang tidak lemah, mengapa dulu aku begitu
merasa aku kuat dengan semua titipanMu, sombong!
Ya Allah, tidak aku
ceritakanpun, tentu Engkau sudah mengetahuinya lebih dulu. Aku tidak bisa, aku
tidak pandai me-manage perasaan dan moodku, ingin sekali dapat tetap tersenyum
dalam goncangan badai, tetap tertawa pada lelucon lelucon teman yang sebenarnya
aku tidak suka hanya untuk menghargai, ingin dapat menahan tangis saat
kusaksikan apapun yang memang menyentuhku, hanya untuk sebuah ketegaran.
Itu semua sulit
untukku!
Aku jarang sekali
bersyukur, mengeluh hampir tiap menit.
Sering meminta, memuji
jarang.
Licik kan? Hebat!
Punya apa aku? Siapa aku? Dimana aku?
Aku tidak suka aku
seperti ini!! Aku picik, tidak tahu malu, sombong, yang aku pikirkan hanya
kebebasanku. Tak mau melihat saudara – saudaraku yang lain, haus pujian
manusia, tidak peka melihat kesengsaraan umat islam yang terus menerus semakin
terkikis jaman, tergerus mode. Aku ini umat kekasihMu atau bukan!
Jilbabku masih main –
main, shalatku masih paling akhir, waktu sisa dari semua kegiatan duniawiku.
Katanya ingin surga, tingkahku masih menuju apiMu. Katanya takut neraka, tapi
terus menerus mencari jalan tercepat menuju suul khatimah. Aku bingung dengan mahkluk
sepertiku. Apasih maunya, makan ditanggung pundak ayah, baju dari dompet ibu,
kebahagiaan kudatangkan dari teman-temanku.
Teramat rugi diriku, baru
kali ini mengenal siapa yang sejatinya selalu menumpahkan kebahagiaan bagi
hidupku dengan cuma - cuma. Hanya untukku. Meskipun aku jarang mengingatnya,
aku tak pernah sadar, semua kebahagian, kecukupan hidupuku hanya darinya. Aku
malu. Masih bolehkah, pantaskah aku meminta maaf padanya. Akankah dia terus
menuai senyumnya, memberikanku bahagia itu, kasih sayangnya, tidurku yang
selalu dia perhatikan, dia takut sesuatu yang buruk terjadi padaku, dia
menyapaku setiap pagi, menyejukkan siang hariku, tak ingin aku sendiri di bawah
tekanan tekanan tugas tugasku, memberiku kasih sayang yang teramat tulus, tapi
aku tak pernah ingin untuk mempedulikannya, kehadirannya yang kuanggap seperti
angin, surat cintanya yang tak pernah kubuka lagi semenjak aku beranjak remaja.
Aaaaaaah! aku sebodoh ini ternyata.
Aku harus minta maaf,
di suratnya pernah dia berkata akan selalu memaafkan semua kesalahan kesalahan
apapun! Asalkan tulus.
“Ya ghaffururrahiim, mungkin ini yang pertama bagiku
merelakan waktu tidurku untukMu, iya aku memang ini, apalah artiku untukMu,
tapi tak ada artinya aku tanpa campur tanganMu. Aku menyesal dengan semua hidup
lamaku, aku menyepelekanMu, melupakanMu, tak menganggapMu ada, tapi Engkau
dengan setia menungguku, di arryMu, ini pertama kalinya hatiku luluh dan
meledakkan tangisan, aku terlampau jauh dengan aturan hidupMu, yang sebenarnya
aturan itu memuliakanku. Aku menyesal, amat menyesal karna aku tak pernah mau
menerima kehadiranMu, maafkan aku ya ghaffar. Aku telah lengah, lalai. Ruginya
daku, baru mengenalMu, baru merasakan kehadiranMu. Hangatnya dekapanMu wahai
Allah, dekaplah aku sampai Izroil mengambil ruhku. Peluk aku wahai Allah, zat
yang selama ini aku cari, zat yang selama ini aku butuhkan. Hidupku, dunia
akhiratku, hanya membutuhkanMu, tidak lagi yang lain. Hanya Engkau wahai Allah.
Semoga menjadi saksi semua butiran air mata ini, bahwa aku pernah sangat amat
rindu belaianMu sama seperti ketika aku dalam rahim bundaku, kini aku kembali
padaMu, pada cintaMu. Allah rabbku, aku merindukanMu, bolehkah aku pulang?”
Hah! Aku punya apa
untuk pulang. . .