2012-12-31

5 september 2012


Ya Allah, aku ingin punya nomer telepon yang bisa aku telpon setiap aku ingin cerita semua kesedihanku. Tapi aku baca suratmu, laa tahzan innallaaha ma’ana.

Aku hambaMu, aku tau bercerita tentang kesedihan kepada sesama makhlukMu memang tidak baik, dan mereka juga tidak akan mampu mengerti kesedihanku  sepenuhnya. Lalu aku hanya mampu menangis. Aku tidak ceritakan kepada siapapun mengapa aku menangis pagi ini.

Setelah 4 rakaat duha, aku baca surat-suratmu,dan aku rindu Engkau, aku mulai ingin menangis. Dan saat aku sampai di ayat 79 surat Al Anbiya, tangisku tak bisa ku tahan, aku berhenti sejenak, memejamkan mataku dan bernostalgia, mengingat semua canda tawa teman teman disana, Ya Allah aku rindu membaca ayat itu bersama teman teman sepengajian di masjid.
Dan mengapa banyak dari temanku yang santai – santai saja menjalani hidup di kostan, aku tidak bisa seperti mereka. Bukan aku takut, entah perasaan apa yang ada di hatiku saat ini. Engkau maha mengetahui segala isi hati setiap makhlukMu.
Aku pun tidak mau terus menerus menangis disini. Aku percaya Engkau tidak akan memberikan ujian jika aku tidak bisa menikmatinya, tapi sampai saat ini aku masih belum bisa melewatinya.

Ya Allah, aku rinduuuuuuu. Terkadang tersirat dalam pikiranku, aku ingin pulang ke pelukanMu, tapi aku sadar aku belum membahagiakan kedua orang tuaku.

Belum saatnya untukku pulang, belum aku luruskan jalan hidupku, masih banyak level dalam hidup ini yang belum kumainkan. Terpikir “kapan game over” atau “kapan goal”.

Aku merasa aku sangat amat lemah. Ya. makhlukMu yang mana yang tidak lemah, mengapa dulu aku begitu merasa aku kuat dengan semua titipanMu, sombong!

Ya Allah, tidak aku ceritakanpun, tentu Engkau sudah mengetahuinya lebih dulu. Aku tidak bisa, aku tidak pandai me-manage perasaan dan moodku, ingin sekali dapat tetap tersenyum dalam goncangan badai, tetap tertawa pada lelucon lelucon teman yang sebenarnya aku tidak suka hanya untuk menghargai, ingin dapat menahan tangis saat kusaksikan apapun yang memang menyentuhku, hanya untuk sebuah ketegaran.
Itu semua sulit untukku!

Aku jarang sekali bersyukur, mengeluh hampir tiap menit.
Sering meminta, memuji jarang.

Licik kan? Hebat! Punya apa aku? Siapa aku? Dimana aku?
Aku tidak suka aku seperti ini!! Aku picik, tidak tahu malu, sombong, yang aku pikirkan hanya kebebasanku. Tak mau melihat saudara – saudaraku yang lain, haus pujian manusia, tidak peka melihat kesengsaraan umat islam yang terus menerus semakin terkikis jaman, tergerus mode. Aku ini umat kekasihMu atau bukan!
Jilbabku masih main – main, shalatku masih paling akhir, waktu sisa dari semua kegiatan duniawiku. Katanya ingin surga, tingkahku masih menuju apiMu. Katanya takut neraka, tapi terus menerus mencari jalan tercepat menuju suul khatimah. Aku bingung dengan mahkluk sepertiku. Apasih maunya, makan ditanggung pundak ayah, baju dari dompet ibu, kebahagiaan kudatangkan dari teman-temanku.

Teramat rugi diriku, baru kali ini mengenal siapa yang sejatinya selalu menumpahkan kebahagiaan bagi hidupku dengan cuma - cuma. Hanya untukku. Meskipun aku jarang mengingatnya, aku tak pernah sadar, semua kebahagian, kecukupan hidupuku hanya darinya. Aku malu. Masih bolehkah, pantaskah aku meminta maaf padanya. Akankah dia terus menuai senyumnya, memberikanku bahagia itu, kasih sayangnya, tidurku yang selalu dia perhatikan, dia takut sesuatu yang buruk terjadi padaku, dia menyapaku setiap pagi, menyejukkan siang hariku, tak ingin aku sendiri di bawah tekanan tekanan tugas tugasku, memberiku kasih sayang yang teramat tulus, tapi aku tak pernah ingin untuk mempedulikannya, kehadirannya yang kuanggap seperti angin, surat cintanya yang tak pernah kubuka lagi semenjak aku beranjak remaja. Aaaaaaah! aku sebodoh ini ternyata.

Aku harus minta maaf, di suratnya pernah dia berkata akan selalu memaafkan semua kesalahan kesalahan apapun! Asalkan tulus.

Ya ghaffururrahiim, mungkin ini yang pertama bagiku merelakan waktu tidurku untukMu, iya aku memang ini, apalah artiku untukMu, tapi tak ada artinya aku tanpa campur tanganMu. Aku menyesal dengan semua hidup lamaku, aku menyepelekanMu, melupakanMu, tak menganggapMu ada, tapi Engkau dengan setia menungguku, di arryMu, ini pertama kalinya hatiku luluh dan meledakkan tangisan, aku terlampau jauh dengan aturan hidupMu, yang sebenarnya aturan itu memuliakanku. Aku menyesal, amat menyesal karna aku tak pernah mau menerima kehadiranMu, maafkan aku ya ghaffar. Aku telah lengah, lalai. Ruginya daku, baru mengenalMu, baru merasakan kehadiranMu. Hangatnya dekapanMu wahai Allah, dekaplah aku sampai Izroil mengambil ruhku. Peluk aku wahai Allah, zat yang selama ini aku cari, zat yang selama ini aku butuhkan. Hidupku, dunia akhiratku, hanya membutuhkanMu, tidak lagi yang lain. Hanya Engkau wahai Allah. Semoga menjadi saksi semua butiran air mata ini, bahwa aku pernah sangat amat rindu belaianMu sama seperti ketika aku dalam rahim bundaku, kini aku kembali padaMu, pada cintaMu. Allah rabbku, aku merindukanMu, bolehkah aku pulang?”

Hah! Aku punya apa untuk pulang. . .

No comments:

Post a Comment